Anti Galau - Almarhum Gus Dur pernah melontarkan suatu canda bermakna tentang polisi. Kata beliau, “Di Indonesia ini hanya ada tiga polisi yang jujur. Yang pertama, polisi tidur. Kedua, patung polisi. Ketiga mantan Kapolri, almarhum Jenderal (Pol) Hoegeng Imam Santoso.” Tetapi sesungguhnya di negara ini masih banyak polisi (sungguhan) yang jujur. Ini adalah salah satu kisahnya.
Alkisah, ada seorang perwira polisi yang sangat jujur, sebut saja namanya Pak Slamet. Sepanjang karirnya, tak pernah sepeserpun dia meminta atau menerima suap. Tidak pernah melakukan pemerasan, memberi fasilitas ilegal, atau perbuatan melanggar hukum lainnya. Karirnya memang tidak begitu berkembang, dia mengakhiri karir aktifnya kepolisiannya sebagai seorang Kepala Polsek di suatu daerah.
Karena kebersihan dan kejujurannya, tak heran Pak Slamet menjalani hidup yang sangat sederhana setelah masa pensiun. Tinggal di rumah sangat sederhana dan tidak memiliki harta atau usaha sampingan yang berarti. Sungguhpun demikian, dengan uang pensiunnya yang tak seberapa, Pak Slamet dan istrinya memiliki cita-cita tinggi bagi putera tunggalnya, membiayainya menyelesaikan kuliahnya.
Suatu saat Pak Slamet dihadapkan pada sebuah masalah berat. Dia membutuhkan uang sebesar Rp 10 juta segera untuk membiayai tugas akhir anaknya tersebut. Tidak mungkin dia meminjam ke bank, karena tidak memiliki jaminan cukup berarti.
Karena tidak ada jalan lain, Pak Slamet pun menulis sebuah surat yang ditujukan kepada Tuhan:
“Tuhan Yang Terhormat, aku tak tahu lagi harus meminta kepada siapa, maka aku meminta padaMu, ya Tuhan. Aku butuh uang sebesar 10 juta rupiah untuk masa depan anakku. Tolonglah aku, ya Tuhan. Hormat saya, Slamet.”
Surat tersebut dimasukkan ke dalam amplop, di bagian depan dituliskan “Kepada Yth. Tuhan” lalu dibubuhkan perangko secukupnya dan dimasukkan ke dalam kotak pos.
Pak pos yang bertugas mengantarkan surat itu tentu saja kebingungan, harus diantarkan ke mana surat aneh tersebut. Maka dia menyerahkan surat tersebut ke Polsek setempat.
Surat itu menimbulkan kegemparan di kalangan anggota polisi di Polsek. Mereka mengenali pengirimnya sebagai mantan komandannya di situ. Maka sebuah aksi solidaritas digelar. Para anggota polisi di Polsek tersebut patungan mengumpulkan uang untuk membantu Pak Slamet, mantan komandan mereka.
Dalam waktu beberapa hari terkumpullah uang sejumlah Rp 5 juta. Seorang polisi ditugaskan mengantar uang tersebut ke rumah Pak Slamet. Saat menyerahkan uang tersebut dia mengatakan, “Pak Slamet, ini ada titipan dari Tuhan.”
Selang beberapa hari kemudian, sepucuk surat diterima Polsek tersebut. Persis sama dengan surat pertama, berperangko cukup dan di sampulnya tertulis “Kepada Yth. Tuhan“. Isinya:
“Ya Tuhan. Saya mengucapkan terima kasih karena Engkau mengabulkan doaku. Uang dariMu telah aku terima. Tetapi, tolong ya Tuhan. Lain kali Kau serahkan saja langsung padaku, jangan Kau titipkan pada polisi. Karena kalau lewat polisi, uangnya pasti disunat 50%. Hormat saya, Slamet.”
(dituliskan kembali oleh Galuh Trianingsih Lazuardi)
Sumber: KompasianaAlkisah, ada seorang perwira polisi yang sangat jujur, sebut saja namanya Pak Slamet. Sepanjang karirnya, tak pernah sepeserpun dia meminta atau menerima suap. Tidak pernah melakukan pemerasan, memberi fasilitas ilegal, atau perbuatan melanggar hukum lainnya. Karirnya memang tidak begitu berkembang, dia mengakhiri karir aktifnya kepolisiannya sebagai seorang Kepala Polsek di suatu daerah.
Karena kebersihan dan kejujurannya, tak heran Pak Slamet menjalani hidup yang sangat sederhana setelah masa pensiun. Tinggal di rumah sangat sederhana dan tidak memiliki harta atau usaha sampingan yang berarti. Sungguhpun demikian, dengan uang pensiunnya yang tak seberapa, Pak Slamet dan istrinya memiliki cita-cita tinggi bagi putera tunggalnya, membiayainya menyelesaikan kuliahnya.
Suatu saat Pak Slamet dihadapkan pada sebuah masalah berat. Dia membutuhkan uang sebesar Rp 10 juta segera untuk membiayai tugas akhir anaknya tersebut. Tidak mungkin dia meminjam ke bank, karena tidak memiliki jaminan cukup berarti.
Karena tidak ada jalan lain, Pak Slamet pun menulis sebuah surat yang ditujukan kepada Tuhan:
“Tuhan Yang Terhormat, aku tak tahu lagi harus meminta kepada siapa, maka aku meminta padaMu, ya Tuhan. Aku butuh uang sebesar 10 juta rupiah untuk masa depan anakku. Tolonglah aku, ya Tuhan. Hormat saya, Slamet.”
Surat tersebut dimasukkan ke dalam amplop, di bagian depan dituliskan “Kepada Yth. Tuhan” lalu dibubuhkan perangko secukupnya dan dimasukkan ke dalam kotak pos.
Pak pos yang bertugas mengantarkan surat itu tentu saja kebingungan, harus diantarkan ke mana surat aneh tersebut. Maka dia menyerahkan surat tersebut ke Polsek setempat.
Surat itu menimbulkan kegemparan di kalangan anggota polisi di Polsek. Mereka mengenali pengirimnya sebagai mantan komandannya di situ. Maka sebuah aksi solidaritas digelar. Para anggota polisi di Polsek tersebut patungan mengumpulkan uang untuk membantu Pak Slamet, mantan komandan mereka.
Dalam waktu beberapa hari terkumpullah uang sejumlah Rp 5 juta. Seorang polisi ditugaskan mengantar uang tersebut ke rumah Pak Slamet. Saat menyerahkan uang tersebut dia mengatakan, “Pak Slamet, ini ada titipan dari Tuhan.”
Selang beberapa hari kemudian, sepucuk surat diterima Polsek tersebut. Persis sama dengan surat pertama, berperangko cukup dan di sampulnya tertulis “Kepada Yth. Tuhan“. Isinya:
“Ya Tuhan. Saya mengucapkan terima kasih karena Engkau mengabulkan doaku. Uang dariMu telah aku terima. Tetapi, tolong ya Tuhan. Lain kali Kau serahkan saja langsung padaku, jangan Kau titipkan pada polisi. Karena kalau lewat polisi, uangnya pasti disunat 50%. Hormat saya, Slamet.”
(dituliskan kembali oleh Galuh Trianingsih Lazuardi)